"AKU DAN MATEMATIKA"
Libur sekolah
telah berakhir, anak- anak kembali ke sekolah dengan memakai baju dan sepatu
baru begitupun Aku. 2 minggu lamanya Ku lewatkan liburan di rumah nenek dengan
banyak pengalaman dan keceriaan, tak Ku rasa kini harus kembali Ku temui buku-
buku pelajaran yang membuatku pusing tujuh keliling. Aku bukan anak yang pintar
tapi tidak terlalu bodoh. Dalam pelajaran tertentu Aku mampu mengikutinya akan
tetapi pelajaran yang satu ini membuatku ingin cepat- cepat pulang, tak betah
rasanya. Perasaan itu mengalir jujurku katakana entah mengapa sejak duduk di
bangku kelas satu hinnga kelas empat sekarang nilai rapotku selalu kecil dalam pelajaran
matematika, ya Matematika itulah Matematika tak tahu mengapa ku benci bahkan
terlalu bencinya tidak jarang Ku acuhkan guru ketika menerangkan materi
Matematika di kelas.
Ini bukan
salah siapa- siapa, akupun tidak seharusnya di salahkan. Mungkin ini bawaan
lahir,he,he,he. Aku boleh saja membela diri tapi sungguh entah mengapa Aku
alergi pada rumus- merumus dan hitung- menghitung, kalau disuruh menghitung
uang Aku tiak akan menolaknya.
Saat masuk
sekolahpun lagi- lagi Matematika yang harus Ku jumpai pertama kali, nasib ya
nasib! Mengapa Aku sangat ketakutan pada mu Matematika? Untuk mengawali hari
pertama bersekolah Aku mencoba untuk bersikap tenang seperti menghadapi
pelajaran yang lain akan tetapi sejam berlalu membuatku bosan, Aku mencoba
mencorat- coret buku dengan menggambar apa saja yang Aku pikirkan tapi itu saja
tidak bisa membuatku senang selanjutnya apa yang Aku lakukan pasti semua orang
akan menduganya. Ya….benar, Aku tertidur dikelas saking bosan dan jenuh. Lagi
lagi Matematika yang membuat Aku begini.
“ Tono, kenapa
kamu tidur di dalam kelas?” ucap Pak guru. “ Maaf pak, sa….sa…saya?” terkaget.
“Sudah sana
kamu cuci mukamu, baru hari pertama sekolah kamu sudak malas-malasan mau jadi
apa kamu ini!” Gerutu. “Baik Pak, permisi!” keluar kkelas menuju toilet. “Ya,
buat dirimu jangan sampai mengantuk lagi dalam kelas!” mengerutu lagi.
Malu rasanya
Aku dilakukan seperti itu tapi bagaimana lagi itu kesalahan Aku sendiri. Baru
hari pertama sekolah tapi Aku malah membuat kesan jelek di kelas. Pak Yanto
guruku di kelas satu dan sekarang bertemu kembali sangat memaklumiku meskipun
ia terkadang jengkel dengan ulahku. Aku demikian hanya pada pelajaran yang
memuakan ini. Ya Allah mengapa harus ada Matematika? Untuk hari selanjutnya Aku
dapat mengatasinya dengan belajar Matematika di rumah sebelum ke sekolah dan mengerjakan tugas yang
pak guru berikan sendiri tanpa mencontek walau hasilnya jelek,he,,,he,,he,
namanya juga usaha.
“ Pak…Aku
berusaha mengerjakan tugas ini sendiri jadi maklum kalau nilainya jelek!”
menjelaskan. “Bapak hargai itu Tton, yang terpenting ada usaha dari diri kamu
untuk menjadi lebih baik dan Bapak yakin kamu akan menyukai Matematika seperti
sukamu pada IPA” ujar Pak guru. “Mudah- mudahan ya Pak tapi Aku rasa itu
mustahil karena Aku dan Matematika bagaikan Minyak dan air,he,he,he!” tertawa.
“Kamu ini,,,ada- ada saja alasannya tapi kita lihat saja ya ton!” meyakinkan.
Dengan
pengertian pak guru, Aku telah dapat menerima Matematika dan mengikuti
pelajaran yang diberikan guru dengan baik, ya…. walau tetap saja bagiku
hasilnya nol besar. Aku sangat sulit menerima materi yang dijelaskan seberapa
banyaknya guru menjelaskan berulang- ulang kepadaku. Padahal Aku tak bodoh
he,he,he, bapakku digolongkan pintar dan riwayat keluargaku tidak ada yang
menbenci Matematika seperti Aku. Ya Allah kenapa Aku seperti in? Kalau saja
semua pelajaran hanya Ipa dan Bahasa saya yakin cita- citaku jadi presiden akan
cepat terwujud kelak jika Aku dewasa nanti tapi masa presiden kok tidak tahu
rumus volume balok dan cara menghitungnya bisa- bisa Indonesia Hancur.
Sudahlah!!!!!
nasibku jelek amat ya. Siang ini Aku ingin mengerjakan tugas IPA dan Matematika
di rumah Irfan teman sebangkuku. Dia pintar dalam matematika tapi lemah dalam
IPA jadi kita saling menolong. Dengan belajar bersama mungkin kesulitan yang
akan dihadapi dalam menjawab soal bisa berkurang. Aku berpamitan pada Ibu untuk
belajar di rumah Irfan setelah makan siang.
“
Assalamualaikum….Irfan, Irfan!”. “Walaikumsalam,,,,eh Tono ayo masuk!” ujarnya.
“Fan,,,ajari aku lagi ya tentang perkalian ribuan ini buat aku mumet ni?”
memohon. “Baiklah Ton,,,,kita belajar sama- sama ya!” seru Irfan. “Gak tahu
kenapa ya Fan. Aku kok kalau belajar Matematika gak masuk- masuk?”. “Ah…Kamu
ini Ton, mungkin Kamu tidak konsentrasi dan yang pasti Kamu sudah menilai
Matematia itu susah jadi begini deh!” jelasnya. “Jelas susah toh! kalo dah
pusing aku tinggalin.” Jawaban singkat. “Ya itulah Kamu Ton, Ton, tapi dalam
IPA kamu jago sedangkan Aku, Ton nyerah deh ma IPA buat pusing!”. “Wah kita kok
terbalik ya,he,,,he!” ketawa. “He,,,He, iya ya itulah hidup Ton Allah
menciptakan umatNya berbeda- beda kalau sama semuakan bisa repot!”. “Benar juga
ya !”. “Udah- udah sekarang kita belajar lagi ngrumpi aja kaya anak cewe!”.
“Baiklah”.
Aku dan Irfan
setelah hari itu selalu belajar bersama setiap hari dan Aku mendapatkan
pengalaman baru mengenai Matematika, Ia mengajarkan Aku bahwa belajar
Matematika jangan terlalu serius, sersan aja katanya serius tapi santai gitu
loh! Hari demi hari nilai Matematikaku tidak terlalu buruk berkat doa dan usaha
semua yang kita inginkan pasti tercapai termasuk keinginanku bisa Matematika.
Begitpun aku selalu membagi pengetahuan umumku mengenai IPA kepada Irfan. Saat
istirahat di kelaspun kita berdua menggunakan waktu untuk belajar bersama
sambil bermain seperti berkejar- kejaran sambil menghafal, menyebutkan rumus
dan lainnya, sungguh menyenangkan. Kita berdua benar- benar cocok saling
mengisi satu sama lainnya.
“Kamu hebat
Ton, apa Bapak bilang suatu hari Kamu akan menyukai Matematika!” yakin. “Ya
Pak. Saya banyak belajar dari Irfan mengenai cara dan rumus Matematika agar
mudah di ingat”. “Wah hebat kalian, Bapak bangga pada kalian”. “Tono juga pak
memberikan banyak informasi padaku mengenai ilmu alam yang banyak tidak saya
tahu!” tambah Irfan. “Bagus. Artinya simbiosis Mutualisme!” jelas Pak guru.
“Apa artinya pak?” tanay irfan. “Itu artinya saling menguntungkan Fan!” jawab Tono lantang. “Ohhh,,,jelas doung pak kitakan
teman !” tegas Irfan. “Ya sudah Bapak tinggal dulu ya”. “Baik pak” serentak .
Aku telah
menguasai sedikit rumus- rumus Matematika walau sedikit kesulitan dalam
menghitungnya tapi tentu saja Irfan selalu lebih unggul dalam bidang ini. Tapi
mengapa dua hari ini Aku tidak melihat Irfan bersekolah, dalam keterangan yang
diumumkan guru Ia sakit. Aku sangat sedih, sore harinya Aku menuju ke rumahnya
ternyata Ia dirawat di Rumah Sakit kota.
Aku tidak berani menengoknya sendiri dan orang tuakupun sibuk tidak mungkin
mereka mengantarkanku menjenguk Irfan sahabatku. Dia sakit apa ya Allah hingga
harus di rawat di Rumah Sakit. Akupun tidak patah semangat, Aku selalu
menuliskan surat untuknya dan meminta maaf karena Aku tak bisa
menjenguknya,dalam surat yang setiap dua hari Aku titipkan pada orang tuanya
Aku selalu menceritakan keadaan sekolah dan teman- teman. Setiap Aku
menggoreskan pena mata ini selalu menitikkan air mata dan membuat hatiku rindu
padanya. Irfan sahabatku semoga kau lekas sembuh.
Pada saat aku
membaca surat
yang pertama kali orang tuanya berikan dan baru membalas dari 10 suratku yang
telah terkirim padanya. Tak hentinya air mata ini mengalir deras. Keadaan Irfan
sangat kritis 10 hari yang lalu dan ia memaklum ketidak datanganku menjenguknya
serta dalam suratnya ia menceritakan penderitaannya mengidap penyakit
Hemofilia. Hemofilia, Aku tahu penyakit itu walau baru kelas empat SD Aku paham
betul apa penyakit itu karena buku pengetahuan ayah dan kakakku selalu Aku baca
sehingga Aku dapat merasakan apa yang dirasakan Irfan. Mungkinkah karena
penyakit ini jugakah 3 tahun yang lalu kakaknya meninggal setelah dikhitan.
Bagaimana tidak meninggal bagi pengidap hemofilia yang tidak memiliki zat
pembeku darah apabila terluka sedikit saja mengalami pendarahan tak henti-
hentinya bagaimana dengan kak Yono yang dikhitan.
Oh Irfan
sahabatku semoga kamu lekas sembuh meskipun penyakit itu akan terus kau bawa
seumur hidupmu. Mengapa ia bisa terluka? Aku selalu memikirkan itu selama
bersama denganku ia anak yang tidak terlalu aktif mungkin ia terjatuh. Mengapa
tidak kau ceritakan masalah ini padaku Fan! Mungkin bila kau cerita Aku akan
lebih hati- hati dan selalu menjagamu di sekolah. Kita baru duduk sebangku di
kelas empat ini mengapa disaat kita sedang senang- senangnya kamu mengalami hal
seperti ini sobat.
“Anak- anak
teman kita Irfan sekarang sudah pulang ke rumah, kita doakan dia semoga cepat
sembuh dan kembali bersekolah” “Amin,,,,PAK” jawab seluruh siswa. “Sekarang
kita belajar mengenai Bangun Ruang, buka halaman 45 dan coba kalian pelajari
terlebih dahulu!” “Baik pak”
Mendengar
perkataan pak guru, Aku jadi selalu memikirkan keadaan Irfan bagaimana lukanya,
obat pembeku darah pasti mahal harganya. Sobat lekas sembuh biar kita bisa
belajar bersama lagi. Aku tidak lagi cuek pada Matematika karena telah
mengetahui cara yang asyik untuk mempelajari Matematika yaitu dengan santai,
dibawa seperti bermain dan membayangkan sedang menghitung banyak uang. Itu yang
Irfan sering katakan padaku hingga Aku menjadi senang dengan pelajaran ini,
nilai latihan di kelaspun telah diatas tujuh Aku memang hebat tapi kamu lebih
hebat sobat.
Setelah pulang
sekolah aku sempatkan menjenguk Irfan di rumahnya. Ketika aku melihatnya
subhanallah badannya menjadi kurus, tatapannya kosong, mataku berkaca
melihatnya. Aku mmeluknya erat. Masih terbungkus kepalanya, ternyata bagian
kepalanya yang terluka pantas saja keadaannya kritis waktu itu, kepalakan
tempatnya otak. Kucoba tanyakan kejadian ini pada ibunya, katanya Irfan
terjatuh dari pohon di halaman depan rumahnya pada saat dia ingin mengambil
layangan yang tersangkut di pohon. Sobat kenapa kau lakukan itu. Aku coba
menghiburnya dan menceritakan kemajuanku dalam pelajaran Matematika serta
kejenuhanku di kelas tidak ada dirinya. Aku melihat senyuman tulus terpancar
dari wajahnya yang pucat pasi. Terlihat darah dikepalanya menetes dan seketika
itu Aku memberitahukan orang tuanya. Semua panik karena tiba- tiba Irfan tak
sadarkan diri, Akupun mundur dari keramaian di kamar Irfan. Kucoba menabahkan
hati akan tetapi tetap saja air mata ini mengalir melihatnya seperti itu.
Akupun pulang
setelah pamiran kepada orang tuannya tanpa sepengetahuan Irfan. Aku selalu
mendoakannya selama perjalanan pulang. Ya Allah tolonglah temanku Irfan, dia
anak yang baik.Sesampainya di rumah aku menceritakan keadaan sahabatku pada kedua
orang tuaku, sore itu entah mengapa ayah dan ibu pulang lebih cepat. Mereka
coba membuat aku tenang dan menasehatiku agar selalu mendoakannya.
“Sabar ya nak,
tadi pagi Bapak dan Ibu sudah menengoknya!” kata Bapak. “ Tono tahu Pak
penyakit ini tidak akan smbuh tapi Irfan pasti sembuhkan, pak?” tanyaku. “Kamu
jangan berhenti mendoakannya ya, Nak!”. “Itu pasti pak, Irfan teman Tono yang
membuat Tono menyukai Matematika!”. “Ya, kita semua tahu kakakmu yang cerita
pada kami! Kamu sabar ya, Nak” tambak Ibu. “Ya bu….!” jawabku. “Sekarang Kamu
shalat dan mendoakan Dia lalu makan ya.
Ibu sudah membuatkan lauk kesukaanmu Ton!” cerita Bapak. “Ya nak” tegas
Ibu.
Keesokan
harinya Aku berangkat sekolah dengan wajah muram teringat selalu pada Irfan,
bagaimana keadaannya sekarang ya? Di kelas Aku lagi lagi melihat tempat
duduknya. Aku memutuskan sepulang sekolah akan kerumahnya lagi semoga sekarang
Irfan sudah lebih baik. Setelah jam isrirahat orang tua Irfan datang ke kelasku
dan berbicara dengan pak guru, seketika itu juga Aku di panggil. Dalam
pikiranku ada apakah dengan keadaan Irfan Sontak saja Aku memikirkan hal yang
tidak- tidak sungguh yang tidak- tidak. Bapak Irfan memintaku bertemu dengan
Irfan katanya anaknya itu ingin menyampaikan sesuatu padaku. Aku jadi tambah
merinding ada apakah dengan Irfan?
Sesampainya di
rumah yang cukup besar itu aku langsung bertemu dengan sahabatku. Sontak saja
aku meneteskan air mata, kakak perempuan dan ibu Irfan menangis sejadi- jadinya
karena Irfan sekarat, dia ingin bertemu denganku dan ingin menyampaikan
sesuatu. Aku mendekati tubuhnya yang dengan kepala berbalut kain berwarna merah
darah ya itu memang darah.Darah terus mengalir dari kepalanya aku melihatnya
tak tega dan air mata ini terus mengalir.
“ Ton,
kemarilah aku ingin mengatakan sesuatu padamu!” terbata- bata. “Fan, Kamu yang
kuat ya jangan menyerah Kita pasti belajar bersama lagi?” Ku menangis. “Tidak
Ton, A…A…Aku sudah tidak kuat tolong ambilkan Aku buku yang berwarna hijau
itu!” menunjuk meja. Menuju meja”Ini bukumu fFan, Aku yakin Kamu pasti
sembuh!”. “Kamu jangan pura- pura bodoh Ton, Aku tahu Kamu tahu penyakitku
dengan jelas!” tegasnya. “Sudahlah Fan, tapi kan ada obatnya! Kamu harus optimis ya
Fan!”. “Aku tidak kuat lagi Ton, darah ini terus mengalir sakit…sakit…sakit rasanya sobat”. “Aku bisa merasakannya
Fan!maafkan Aku ya”. “Ini buku yang Aku buat selama di Rumah Sakit tentang
rumus- rumus Matematika dan caranya dari kelas satu hingga enam. Kamu pelajari
ya, Ton. Demi persahabatan kita Kamu harus menjadi juara umum di kelas walau
itu susah!” memberikan buku. Memerima buku itu ”Baiklah Fan, Aku janji akan
menjadi juara kelas demi Kamu!”. Itu baru sahabatku, demi dirimu sobat”
tersenyum. “Kamu sahabat terbaiku Fan!” memeluknya. “Sekarang Aku mau istirahat
dulu Ton, cape banget ingat pesanku ya sobat. Aku yakin
kamu yang terbaik”. “Baiklah sekarang Aku pulang ya Fan, cepat sembuh biar kita
bisa belajar bersama lagi!” memeluk lagi dan berpamitan. “Aku akan bahagia
disana Ton!” memandang kepulangan Tono.
Keesokan harinya
Aku mendengar kabar yang membuatku seperti di sambar petir. Ya Sahabat
terbaikku meninggal kemarin sore, itu berarti sepulangnya Aku dari rumahnya
siang hari lalu Irfan mngatakan ingin istirahat. Aku tak menyangka itu
istirahatnya untuk selamanya. Mungkin keluarganya mengira Irfan tertidur pulas
Oh sahabatku Aku selalu mendoakanmu disana semoga Kamu bahagia disisi Allah
karenaku yakin Kamu orang baik dan jajiku padamu akan ku tepati. Aku akan
menjadi juara dimanapun Aku berada agar kamu tenang disana. Aku mengikuti
pemakamannya hingga selesai walau Aku paling kecil sendiri tapi Aku merasa Aku
orang yang paling merasa ditinggalkan.
Setelah
kematian sahabatku, Aku berjanji tidak akan menganak tirikan Matematika ataupun
mata pelajaran lainnya. Aku harus belajar dengan rajin agar bisa menjadi juara
kelas seperti yang diinginkan almarhum. Aku menjadi cinta Matematika karenamu
sobat dan lebih semangat belajar juga karenamu. Ya Allah terimalah sahabatku
disisiMu.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar