Jumat, 02 Oktober 2015

"Tantangan Itu Pasti Ada"

Hujan pun turun membasahi tubuhnya, dia bahkan tidak tahu apa yang dilakukan sekarang yang ia tahu hanyalah bagaimana bertahan hidup tanpa seorang ibu.
Hujan pun turun begitu deras, ia melangkahkan kakinya ke tempat perlindungan yang ada di seberang jalan dengan membawa secarik kertas yang baru saja diberikan oleh guru sekolahnya. Ia sekali melirik, membaca tulisan itu dan kembali menutupnya. Deras air matanya terus jatuh membasahi pipi mulusnya. Entah apa yang ada di fikirannya, ia terus menangis sampai cerahnya matahari muncul kembali menyinari tempat ia duduk.
Ia pun berdiri, tersenyum melihat sinar matahari, menghapus air matanya dan berkata “Aku pasti bisa menjalani keadaan ini”. Ia bergegas pulang, melewati hutan tanaman bunga untuk mempercepat dirinya sampai ke rumah, karena adik-adiknya pasti sudah menunggunya dari tadi.
Membuka pintu rumahnya dengan senyum ceria selalu ia munculkan untuk menyapa adik-adiknya. Tapi alhasil, senyum itu berubah menjadi tetesan-tetesan air yang secara langsung jatuh dari kelopak matanya. Ia melihat adik-adiknya meringis kesakitan menahan goncangan dahsyat di perutnya. Ia pun langsung memeluk adiknya dengan erat, dengan tangisan kerasnya. Ia tidak bisa berkata, semua kalimat-kalimat yang ada di fikirannya tertahan oleh lidahnya. Ia hanya bisa menangis, menangis, dan menangis.
Tiba-tiba ketukan pintu mengakhiri tangisan mereka. Suara dari pintu langsung menggerakkan tubuhnya untuk berdiri mendekati pintu. Perlahan-lahan ia membuka pintu itu. Ia langsung kaget melihat 2 orang berseragam polisi berdiri di hadapannya. Fikirannya pun bercampur aduk, entah masalah apa yang menimpa keluarganya lagi.
Ia duduk termenung di depan adik-adiknya yang menangis, ia tak habis fikir apa yang diperbuat adiknya yang satu ini, sampai harus berhubungan dengan polisi. Ia tak tahu apa yang akan ia lakukan sekarang, sama siapa ia mau minta tolong, karena ia tidak mempunyai satu pun keluarga yang tinggal sama dengan wilayahnya. Ia berfikir sangat lama sampai berjam-jam dan ia lupa bahwa adik-adiknya yang berada tepat di depannya belum ia beri makan dari tadi.
Makanan di rumahnya tidak ada, ia biasa meminta beras di tetangganya atau mencari bunga-bunga untuk dijualkan kepada orang-orang yang ingin memberikan setangkai bunga pada sang kekasihnya, agar ia bisa membeli makanan untuk ia makan sehari-harinya dan juga untuk membiayai sekolahnya bersama adik-adiknya. Betapa perjuangan hidup yang ia lakukan dengan adik-adiknya sangat susah ia jalankan. Tapi dengan itu ia mampu bertahan hidup untuk terus melanjutkan sekolahnya dengan adik-adiknya dan menghidupi keluarganya.
Bertahun-tahun ia jalankan hidupnya tanpa seorang ibu yang sudah lama meninggalkan dirinya dengan adik-adiknya. Dan tanpa seorang ayah yang meninggalinya sejak sebelum ibunya meninggal. Betapa tega seorang ayah yang meninggalkan ibunya, dia dan adik-adiknya tanpa alasan yang logis. Kini sekarang ia lah yang mengganti posisi ibunya. Ia adalah tulang punggung keluarganya, ia harus merawat adik-adiknya dan menyekolahkan adik-adiknya.
Ia mempunyai cita-cita yang tinggi, ingin menjadi seorang dokter anak. Tapi apakah cita-citanya akan terwujud? Untuk mengambil jurusan kedokteran saja biaya awal masuknya sudah mencapai kurang lebih 100 juta, belum uang semester dan pasti juga uang bukunya. Dengan kondisi itu, ia pun sangat khawatir dengan cita-citanya yang tinggi itu. Ia hanya seorang remaja yang setiap harinya menjual bunga ke orang-orang untuk membeli kebutuhan keluarganya dan sekolahnya bersama adik-adiknya. Dan apakah cita-citanya itu akan terwujud? Sedangkan yang ia andalkan hanyalah dari setangkai bunga.
Tubuhnya yang kecil ia sandarkan di kursi kayu di depan rumahnya, rasa lelah yang ia rasakan membuatnya harus beristirahat sejenak. Kumpulan tangkai bunga yang ia dapatkan hari ini lumayan sedikit, berarti uang yang akan ia terima hari ini juga ikut berkurang. Tapi itu tak menjadi masalah pada dirinya, yang penting ia masih bisa bersyukur dengan apa yang ia dapatkan hari ini.
Hari sudah mulai sore, ia bergegas berdiri dari tempat duduknya dan segera menjualkan bunganya. Tidak setiap hari ia menjual bunga-bunganya, hanya di waktu-waktu tertentu, seperti pada waktu satnight. Satnight adalah waktu yang sangat di tunggu-tunggu olehnya dalam satu minggu. Bukan ia ingin pergi satnight dengan sang kekasih tapi, baginya satnight adalah waktu untuk mendapatkan uang.
Ia adalah seorang remaja yang tidak memanfaatkan waktu satnightnya untuk berkumpul dengan keluarga atau teman-temannya sambil bercanda gurau. Ia selalu habiskan waktu satnightnya dengan menjual setangkai bunga kepada orang-orang yang lagi berpacaran. Kadang, ia merasa iri dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Tapi ia sadar diri kalau dirinya tak mungkin bisa seperti mereka, yang bisa dibebaskan untuk bersatnight dengan teman-temannya, yang setiap harinya di manja oleh orang tuanya, yang setiap harinya di antar oleh orang tuanya ke sekolah, dan bahkan setiap harinya bisa kumpul dengan ayah dan ibunya. Tapi sayangnya, Tuhan berkehendak lain dengan dirinya. Ia lah yang sekarang ini yang harus mengurus dirinya dan adik-adiknya tanpa bantuan seorang ayah dan ibu.
Hari-hari yang ia lewati bersama adik-adiknya dengan kesederhanaan tak menghalanginya untuk selalu bersyukur dengan sang pencipta. Walaupun kehidupannya yang serba kurang ia masih tetap bersyukur kepada Tuhan atas segala nikmat, sehingga ia masih tetap bisa bertahan hidup bersama adik-adiknya.
Kini ia sudah berumur 17 tahun, berarti ia sudah duduk di bangku kelas 3 SMA. Tinggal selangkah lagi ia akan menjadi Mahasiswi. Tapi, ia lagi berfikir darimana ia akan mendapatkan uang untuk melanjutkan kuliahnya. Sedangkan uang yang ia punya hanyalah seberapa, tidak sampai dengan jutaan. Untunglah selama ia masuk SMA semester 2, ia mendapatkan beasiswa dari sekolah karena sudah menjadi siswi teladan. Jadi, uang sekolah tidak lagi ia bayar sampai ia tamat dari Sekolah Menengah Atas. Seandainya saja, ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di jurusan kedokteran, ia pasti bisa mengejar cita-cita tingginya itu.
Tibalah masa-masa yang di tunggu untuk para siswa-siswi SMA seluruh Indonesia. Pengumuman kelulusan sudah ada di tangan sekolah. Kini ia dan siswa-siswi lainnya harus duduk di aula mendengar pengumuman yang akan di bacakan oleh kepalah sekolah, dan sekaligus mendengarkan nilai UN terbaik.
Ucapan kelulusan yang di ucapkan kepalah sekolah membuat para siswa-siswi merasa bahagia, termasuk dirinya. Akhirnya, perjuangannya selama 3 tahun tidak sia-sia. Kini, tinggal ia menunggu kelulusan SNMPTN yang entah kapan di umumkan. Ia tak tahu kalau kelulusan SNMPTN bersamaan dengan pengumuman hasil UN. Sehingga selesai pengumuman kelulusan, ia langsung bergegas berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke luar aula.
Saat hendak melangkahkan kakinya ke pintu aula, pengumuman nilai UN tertinggi di umumkan. Nayla Anatasya Latifa adalah nama yang di ucapkan kepala sekolah, ia berhenti dan berbalik. Tepuk tangan dari semua orang-orang yang berada di aula, membuat dirinya menangis bahagia. Namanya disebut sebagai siswi yang memiliki nilai UN yang hampir mendapatkan nilai kesempurnaan “10” hanya saja di pelajaran Kimia ia mendapatkan nilai 9,75.
Kesenangannya tidak sampai disitu, ia juga lulus SNMPTN di UGM jurusan kedokteran umum dan mendapatkan beasiswa sampai S1. Sungguh bahagianya ia hari ini. Hari ini adalah hari yang tak akan ia lupakan selama hidupnya.
Bergegas ia pulang ke rumah, tak sabar ia menyampaikan ini kepada adik-adiknya. Tapi, ia langsung terkejut melihat polisi ada di depan rumahnya. Ia berlari-lari kecil menghampiri polisi itu. Betapa senangnya ia melihat adiknya sudah terbebas dari penjara. Rindunya kepada adiknya yang sekian lama tidak bertemu dengannya, ia berikan melalui pelukan erat sambil menangis di bahu adiknya. Adiknya sudah dewasa, dan bahkan tingginya sudah melewati dirinya. Betapa berubahnya postur tubuh adiknya selama berada di sel tahanan.
Akhirnya, adiknya bisa berkumpul kembali dengannya, ia merasa hari ini adalah hari istimewa bagi hidupnya. Setelah sekian lama banyak tantangan yang ia hadapi dan inilah balasan yang di berikan Tuhan untuknya. Ia sangat berterima kasih kepada Tuhan atas karunia yang ia dapatkan hari ini. Segala tantangan hidup yang dilakukan dengan susah payah dan sabar akan nantinya mendapatkan yang lebih dari sang pencipta. Berusaha dan berdoa adalah kunci kesuksesan mu kedepannya.

"Menuntut Ilmu"

Dengan kuat aku terus goes sepedaku untuk menuntut ilmu ke sekolah. Aku ingin sekali mendapatkan ilmu yang berguna dan bermanfaat. Maka dari itu aku giat untuk menuntutnya. Walaupun ya, sedikit cape sih. Soalnya sekolah MD aku kan lumayan jauh. Tapi demi mendapatkan ilmu aku rela.
Tak lama kemudian akhirnya aku pun sampai di sekolah. Aku langsung menuju ruang kelas. Sampai di kelas, sahabat-sahabat ku menyapaku dengan penuh senyuman. Karena tadi aku berangkatnya agak telat jadi pas aku duduk, eh bel masuk berbunyi. Semua anak-anak masuk lalu membaca doa.
“Assalammu’alaikum..” salam pak guru.
“wa’alaikumsalam..” jawab anak-anak serempak
“Nah, anak-anak sekarang buka buku pelajar Tarikh Islam ya,” perintah pak guru kepada semua murid di kelas itu.
“Ia pak” jawab semua murid dengan serempak lagi.
Setelah beberapa jam kemudian. Tak terasa jam sudah menunjukan pukul 15.00 WIB. Bel istirahat pun berbunyi. Aku dan saabatku langsung menuju kantin. Setelah makan-makan di kantin kami menuju mushola sekolah unuk melakukan ibadah sholat ashar.
Sholat ashar sudah selesai dikerjakan, sekarang waktunya masuk kelas. Pelajaran pun dimulai kembali. Setelah selesai nulis guruku menerangkan yang tadi ditulis oleh anak-anak. Dan memberikan sedikit pertanyaan.
Waktu menunjukan pukul 16.30 WIB waktunya pulang ke rumah. Sesampai di rumah, mamaku bertanya kepadaku,
“Dede, tadi belajar apa di sekolah MD?” Tanya mamahku.
“Itu mah, tadi di sekolah aku belajar Tarikh Islam.” Jawabku, sambil mencium tangan mama.
“Ya sudah sekarang mandi lalu makan ya!” Perintah mamaku
“ok mah” jawabku.

"Rahasia Bintang Kelas"

“Duh, dapat enam lagi!” seru Heru kesal ketika Pak Dodi membagikan hasil ulangan IPA-nya.
“Kamu pasti dapat sepuluh!” katanya pada teman sebangkunya, Fajar.
“Ah, cuma dapet sembilan, kok” kata Fajar merendah. “Sembilan? Kamu bilang dapet sembilan cuma?”
Uh, rasanya Heru ingin berteriak keras di telinga Fajar. “Dapat nilai sembilan seperti keajaiban buatku!”
Heru memang tidak heran kalau Fajar selalu dapat nilai bagus tiap ulangan. Fajar kan bintang kelas. Tentu saja dia pintar.
“Benar kan, sambil menutup mata pun kamu bisa mengerjakan semua soal dengan gampang!” Heru selalu berkata begitu pada Fajar. Sampai suatu hari, Heru benar-benar merasa cemas. Ulangan matematikanya mendapat nilai empa! Padahal ia sudah berusaha belajar semalaman.
“Fajar, bagaimana sih caranya bisa menjadi sepintar kamu?” akhirnya Heru bertanya dengan serius. “Ah, kamu juga bisa sepintar aku. Kuncinya hanyalah belajar dengan tekun” ujar Fajar.
“Tapi aku juga belajar terus, kok!” elak Heru. “Rahasiamu apa, sih?”
Fajar tersenyum. “Ini sebenarnya rahasia. Hanya anak-anak yang berminat saja yang bisa menyerap ilmu ini,” katanya dengan tampang serius. “Kamu serius mau belajar dari aku?” Heru mengangguk cepat karena ia teringat dengan nilai empat ulangan Matematikanya.
Sepulang sekolah, Fajar berbisik pada Heru, “Nanti malam setelah mengerjakan PR Bahasa Indonesia, baca lagi pelajaran yang kita pelajari hari ini. Setelah itu baca bab 4 buku IPA, dan bab 5 buku Matematika.” Heru mengiyakan. “Yang serius, ya!” seru Fajar sambil melesat pergi.
Sorenya Heru segera melaksanakan perintah Fajar. PR Bahasa Indonesia dikerjakannya denga teliti. Lalu ia mengeluarkan semua buku pelajaran yang dibawanya hari itu dari dalam tas. Satu demi satu pelajaran yang tadi diberikan oleh guru dibacanya lagi. Selama membaca, ia teringat ucapan Bapak dan Ibu guru di depan kelas selagi menerangkan.
Bahkan ia sempat tertawa mengingat lelucon Pak Guru tadi ketika menerangkan tentang Columbus, si penemu benua Amerika. Oh, lebih jelas sekarang setelah ia mengulang membaca pelajaran tadi. Setelah selesai, Heru mencari buku IPA dan Matematika di rak bukunya. Oh, besok ada pelajaran IPA dan Matematika ya, gumamnya ketika melihat jadwal pelajarannya sekilas.
Diambilnya buku IPA dan dibukanya Bab 4. Loh bab ini kan belum diterangkan Bu Guru? Ia membolak-balik halaman-halaman bukunya dengan kening berkerut. Jangan-jangan Fajar salah memberi perintah, pikirnya. Atau ia salah mendengar? Penasaran, diambilnya buku Matematikanya.
Bab 5 dibukanya. Hei, ini juga belum diajarkan, serunya dalam hati. Bagaimana bisa mengerti kalau belum diterangkan guru, keluhnya. Apa sih maksud Fajar? Akhirnya ia menelepon Fajar. “Iya, memang belum dijelaskan guru, tapi kamu baca saja semengertimu, ya. Kalau mau, buat catatan tentang apa yang nggak kamu mengerti,” ujar Fajar singkat.
Heru pun membuka buku IPA bab 4 dan mulai membaca perlahan. Tak lama, Heru sudah asyik sendiri mencorat-coret di buku catatannya. “Aku nggak mengerti yang ini… tapi bagian tentang fotosintesis itu kan lanjutan pelajaran sebelumnya… mmm, jadi ini maksudnya…” Heru mengoceh sendiri. Setelah selesai, ia segera membuka buku Matematikanya.
Bab 5, mengukur luas Jajar Genjang. “Mm, di bab 4 kan aku belajar tentang mengukur Segiempat dan Segitiga. Jajar Genjang itu ternyata ada Segiempat dan Segitiga juga!” Heru mulai bersemangat. Ia membolak-balik bab 4 buku Matematikanya juga.
“Bagaimana? sudah mengerjakan apa yang kuminta dengan sungguh-sungguh?” Fajar bertanya keesokan paginya. Heru tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. Ia membuka buku catatan IPAnya. “Fajar, kamu tahu apa maksudnya ini? Aku penasaran, semalam membaca Bab 4 tapi yang ini aku nggak tahu maksudnya,” ujarnya. Fajar menggeleng, “Aku juga penasaran. Nanti tanya sama Bu Guru.” Heru terbelalak. “Masa sih kamu nggak tahu? Kamu kan pintar!”
“Kita kan baru belajar sampai Bab 3, ya aku sama dengan kamu dong, sama-sama nggak tahu!” Fajar tertawa. Heru tetap tak percaya. “Nah aku beritahu lagi rahasiaku,” lanjut Fajar. Dibisikinya Heru dengan penuh rahasia, “Nanti, simak penjelasan guru dengan baik. Kalau ada yang nggak kamu mengerti, langsung ditanyakan.”
Benar juga, sih. Hari itu Heru berusaha menyimak panjelasan guru dengan seksama. Pelajaran Matematika dan IPA hari itu terasa mudah baginya. Ketika sekolah usai, Heru mendekati Fajar. “Ada rahasia lagi yang harus kuketahui?” tanyanya. “Begini, kamu sudah bersungguh-sungguh. Itu bagus. Rahasia pertama: jangan menunda mengerjakan PR yang sudah kamu kuasai,” ujar Fajar dengan gaya mirip ketua silat yang tengah menasehati muridnya.
“Rahasia kedua: ulangi pelajaran yang telah diajarkan di sekolah segera. Kamu juga sudah menguasainya.” Fajar pura-pura terbatuk. “Maaf. Rahasia ketiga, baca dan pelajari dulu pelajaran yang akan diterangkan guru keesokan harinya. Kamu juga melakukannya dengan baik sekali.” Fajar nyaris tak bisa menahan tertawanya yang melihat Heru yang amat menunggu rahasia berikutnya. “Nah, ehm, masih ada dua rahasia lagi. Dengarkan baik-baik!” “Rahasia keempat adalah, lakukan rahasia satu sampai tiga dengan teratur dan tekun, tiap hari.” “Rahasia kelima?” tanya Heru tak sabar. “Rahasia kelima? Rahasia kelima: kamu harus mentarktir aku semangkok mie ayam!” tawa fajar sambil berlari. “Huuuu!” seru Heru.

"Perjuangan Hidupku Dalam Menuntut Ilmu"

Perkenalkan nama saya supardin, biasa disapa adin saya anak pertama dari lima bersaudara. Saya lahir dari keluarga yang sangat sederhana, walaupun demikian saya memiliki motivasi yang sangat besar dalam hal dunia pendidikan. perjuangan saya bisa dikatakan sangat ekstrim, dan penuh tantangan bukan berati perjuangan saya menjadi pupus, justru hal tersebut yang membuat saya kian semangat.
Kepahitan itu kian membuat kehidupan keluarga ku terpukul, setelah ayah ku pergi meninggalkan kami semua, tentu semua tanggung jawab dibebankan kepada ibu. Mengingat usia kami yang masih sangat kecil dan masih membutuhkan kasih sayang.
Seiring berjalanya waktu dan usiaku pun kian bertambah, kini aku berumur 7 tahun tentu di umur seperti itu sudah selayaknya aku harus mulai masuk dunia pendidikan sekolah dasar, melihat kehidupan keluarga yang kian memburuk membuat ku kian giat menuntut ilmu. Demi satu tujuan yaitu ingin membahagiakan ibu ku.
Waktu terus bergulir dan kini aku pun naik ke kelas dua sekolah dasar. Tentu biaya kian tahun makin bertambah, maklum pada saat itu belum ada program wajib belajar Sembilan tahun. ibu ku pun kian semakin kesulitan untuk membiayaiku. Bahkan sempat terdengar di telingaku perkataan ibu ku yang menginginkan agar aku berhenti sekolah, karena tak sanggup lagi dengan biaya yang semakin bertambah, hal terebut tentu membuatku kian terpukul.
Senada ibu pun mngatakan “Nak… maafkan ketidaksanggupan ibu dalam mengurus kamu, ibu rasa perjuangan mu untuk menimba ilmu cukup sampai disini, ibu tidak memiliki apa-apa sekarang. Jadi maafkan ibu”.
Mendengar hal tersebut membuat ku terhenyak sejenak, terlintas di pikiran ku akankah semua ini akan berakhir..?
Mendengar hal tersebut tentu membuat sanak keluarga ku merasa empati kepada keadaan ku, merasa tidak ingin aku putus sekolah aku pun dibawa keluar kota. tante NAFSIA lah yang membawa ku dan membiayai semua kebutuhan ku. Meski demikian bukan berati aku bisa bersantai, maklum sebaik-baiknya seorang tante tidak lah lebih baik dari seorang ibu.
Hari yang dinantikan pun tiba, tepatnya pada tanggal 22 november 1997 aku didaftarkan di SDN REO II. Sebuah sekolah dasar negeri yang berada di kecamatan REOK dan berkabupaten MANGGARAI, hari pun telah berganti waktu terus bergulir aku mulai masuk sekolah di hari pertama ku di sekolah baru. Rasa gembira pun terpancar di raut wajah ku, menggingat aku dapat melanjutkan sekolah ku.
Lonceng sekolah pun berbunyi menandakan waktu pelajaran usai, aku pun berkemas dan bergegas meninggalkan ruangan, untuk segera pulang bersama teman baru ku.
Sesampai di rumah akupun langsung di suguhkan dengan sebuah baskom kecil yang berisikan kue lemet.
“Din hari ini kamu mulai berjualan kue, ini kuenya dan skarang juga kamu mulai berjualan”
“tapi tante saya kan belum makan, bisa kah saya berjualan setelah makan..?”
“oh.. tentu silakan .. tapi jangan lama ya.. makannya..”
“ia tante..”
Setelah makan aku pun bergegas untuk berjualan, langkah demi langkah aku menatih kan kaki ku, bersuara kan merdu bertedu kan mata hari yang cukup panas, soalnya aku berjualan tepat pada pukul 14:00 tentu cuaca masih panas.. badan bercucuran keringat dan aku pun mulai bersuara lantang.
“Bu, Kue.. kue.. bu kue bu..”
Waktu pu kian semakin sore, kue pun semua habis, dengan hati yang amat senang aku pun bergegas untuk pulang. Dan memberikan semua uang hasil jualan ku hari ini kepada tante ku.. itulah kegiatan sehari-hari ku setelah sepulang sekolah..
Waktu bergulir sangat cepat dan sekarang aku sudah lulus dan ingin melanjutkan pendidikan ku ketingkat SLTP, aku pun mulai mendaftarkan diri hati ku pun kian bertambah senang dapat melanjutkan sekolah.. dengan semangat aku kian giat belajar, agar dapat naik kelas alhasil usaha ku rupanya tak sia-sia, aku dapat naik ke kelas berikutnya, sampai akhirnya lulus pada tahun 2005 dan mendapat kan nilai yang sangat memuaskan.
Setelah lulus SLTP, aku pun ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Tapi sayang harapan itu hampir sirna akibat tante ku tak dapat melanjutkan ku ke tingkat SMA, dikarenakan suaminya mengalami kecelakaan kerja dan harus membutuh kan biaya yang cukup banyak untuk keperluan pengobatan Dan lain lain.
Aku pun kembali di belit cobaan yang amat berat, dengan hati yang amat sedih aku pun menerima dengan hati yang lapang. Dalam hati kecil terucap akankah ini semua akan berahir sampai disini..?
Karena keadaan yang tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan sekolah aku pun kembali ke kampung halaman ku. Setelah di kampung akupun mulai memikirkan bagaimana caranya agar aku dapat melanjutkan pendidikanku. Sebab aku memiliki impian yang sangat besar dalam dunia pendidikan. Karena merasa iBu ku sudah tak sanggup lagi membiayai ku. Aku pun mulai meencari pekerjaan, apapun itu yang terpenting aku dapat bersekolah kembali..

"Soal UAS"

Terlihat ada kerumunan siswa siswa di depan ruang guru SMP Ricci pagi ini. Mereka terlihat mencoba mengintip ke dalam ruang guru untuk melihat apa yang sedang terjadi. Alex yang baru datang melihat kerumunan tersebut dan bertanya kepada dua temannya, Chiara dan Nicole. “Hei, apa apaan nih? Kok pada ngumpul depan ruang guru?” ia bertanya. “Eh elo, Lex. Itu tuh.. katanya ada anak yang ketauan menjual soal UAS!” Nicole menjawab. “Iya tuh. Tapi masih belum ketauan siapa aja yang udah beli. Dia lagi diinterogasi di dalem. Makanya rame.” Chiara menambahi. Alex terpaku. Keringat mulai bercucuran dan tangannya menggenggam erat tali tasnya. “Ng? Lo kenapa? Lu gak jadi beli soal ulangan itu kan?” Chiara bertanya. “Eh? E-enggak kok. Udah ya!” Lalu ia berlari meninggalkan dua anak perempuan itu kebingungan.
Sampai di kelas, ia melihat teman-temannya sudah berkumpul sambil ngobrol-ngobrol. Dengan cepat ia menaruh tasnya dan menghampiri mereka “Eh, Alex! Sini sini!” Rama memanggilnya. “Katanya, anak yang jual soal UAS ketangkep ya?” Ia dengan hati-hati bertanya. “Iya tuh, untung gue kagak jadi beli. Bisa kena masalah gue!” Kevin menghela napas lega sementara Alex menjadi semakin tegang dan bel masuk pun berbunyi.
Sepanjang pelajaran, Alex tidak bisa konsentrasi. Ia terus memikirkan tentang kejadian ditangkapnya anak yang menjual soal UAS tersebut sampai ia tidak mendengar teman-temannya memanggil. “Lex! Alex! Woy! Ke kantin yuk. Bengong aja!”
Sesampainya di kantin, Chiara dan Nicole sudah terlihat duduk dan mengobrol. “Jadi, cerita lengkapnya gimana?” Roby bertanya. Alex mempunyai banyak teman dekat. Dan yang paling dekat dengannya adalah keenam sahabatnya ini. Ada Chiara, Nociole, Roby, Rama, Kevin dan Michael. “Katanya sih, ada saksi yang liat dia ngambil soal itu trus setelah ditanya-tanya, ternyata soal soal itu dijual ke temen-temen.” Michael menjelaskan. Melihat perlakuan aneh sahabatnya, Nicole menjadi cemas. “Hey, Alex.. Lo.. gak jadi ngambil soal itu kan?” Alex diam. Ia bingung apakah ia bisa menceritakannya kepada mereka? “Ng.. iya. Gua ambil. Yang Matematika sama Fisika..” teman-temannya kaget. Alex memang cerita bahwa ia ditawari tentang soal itu namun ia tidak pernah bercerita lagi. “Trus? Lo mau pake soal itu? Kini giliran Chiara bertanya. Alex mengangkat bahu. “Mendingan lo balikin deh tuh soal. Daripada kena masalah?” Rama menyarankan. “Tapi lo udah bayar buat soal itu kan? Gue bilang sih pake aja. Siapa tau bener.” kata Kevin. Yang lain mulai shock, Kevin yang biasanya alim menyarankan Alex buat menyontek? “Kevin! Kamu kok malah setuju buat nyontek?!” Nicole mulai emosi. “Kamu tau kan apa yang bakal terjadi kalau ketauan?” Chiara meletakkan alat makannya dan menatap serius teman temannya. “Kalau gak ketauan gak papa kan? Banyak juga yang make kok!” Rama ikut-ikutan. “Lu stress ya? Kalau ketauan bisa masalah! Chiara, ayo!” Nicole bangkit dan pergi. Chiara memandang Alex sekali dan beranjak pergi mengikuti Nicole. Yang lain juga berdiir dan meninggalkan Alex sendiri. Michael sempat tersenyum dan menepuk pundaknya sebelum pergi
Sampai di rumah, ia masih memikirkan tentang saran teman-temannya. Balikin, jangan? Kalau dibalikin, ntar bisa dapet jelek. Tapi kalau ketauan?… Ia menatap plastik berisi soal sambil berpikir. Ia masih belum membuka soal itu karena bingung. Kalau gak ketauan kan lumayan, nilai pasti bagus! Tapi… Terlalu lelah berpikir, ia pun tertidur.
Keadaan teman-temannya masih belum mebaik sampai esoknya. Padahal UAS sudah dekat dan ia masih belum meutuskan mau memkai soal itu atau tidak.
Saat istirahat, Chiara dan Nicole menghampirinya dan berkata “Jangan bilang kita gak ingetin lo ya. Semuanya terserah lo, Lex” Rama dan Kevin yang mendengarnya hanya mendengus dan kedua perempuan itu pergi. “gak papa Lex, ikutin gua aja. Gak bakal masalah kok.” Alex hanya mengangguk
Chiara, Nicole, dan Michael berpaspas an dengan Rama, Kevin, dan Alex di halaman. “Guys, ayolah.. Gue bilang balikin itu soal. Pasti lebih baik pake kerja keras lu sendiri Lex…” Chiara berkata. “Tapi kan lebih gampang pake soal ini, daripada musti belajar. Bikin capek!” Rama balas dengan nyolot. “Udahlah, biarin Alex milih sendiri aja. Kalau lu ngikutin saran cewek-cewek, balikin soal itu besok.” Michael menyarankan. “Oke aja, biar Alex yang nentuin.”
Pagi harinya, Chiara dan Nicole sudah menunggu di depan ruang guru dan tersenyum pada Alex. “Ini pilihan lo, Lex” dan mereka memasuki kelas. “Jadi.. Lo milih pake apa balikin? Kalau lo balikin, Rama sama Kevin juga harus balikin..” Nicole bertanya.
“Gue.. Gue balikin aja deh. Takut kena masalah gue..” Alex berkata. “Gitu dong! Kalau gitu, Rama sama Kevin juga balikin! Sayang kan duit lu pada abis gara-gara soal doang?” Mereka tertawa. “Ya udah, ntar pada jajanin kita ya, Pleaseee?” Rama membujuk namun tidak diacuhkan oleh yang lain.
Besok paginya, Alex sudah mengembalikan soal pada orang yang menjualnya. Begitu juga dengan Rama dan Kevin. “Nih, maaf ya gue balikin. Tapi gua gak mau kena masalah kayak lo. Thanks anyway..”

"Jejak-Jejak Keajaiban Mimpi"

Keajaiban itu, berawal saat mahasiswa baru yang bernama Tira menginjakkan kakinya di sebuah kampus tersohor. Yaitu institut teknologi bandung, dengan tekad yang kuat untuk menuntut ilmu di kampus tersebut. Ia mulai membuat jejak-jejak mimpinya. Setelah disambut dengan hangat di kampus tersebut, ia mulai menuliskan mimpi-mimpinya pada dua lembar kertas dan ia tempelkan pada dinding kamar kostnya. Pada suatu ketika ada teman-teman Tira yang berkunjung ke kostnya dan mereka melihat dua lembar kertas yang tertempel dinding kostnya tersebut mereka membaca isi dari dari dua lembar kertas tersebut yang berisikan impian-impian yang dituliskan oleh Tira. Setelah itu teman-teman Tira pun berkata padanya “hahaha, sudahlah Tir… itu kan cuman hayalan kamu aja”, ujar teman-teman Tira dengan ekspresi menyindirnya. Lalu Tira menjawabnya dengan santai “gak apa-apa kok sob siapa tau suatu hari nanti jadi kenyataan”, lalu teman-teman Tira tersadar akan semangat yang besar dari Tira mereka pun memberikan dukungan untuk Tira dan berkata “oke deh Tir semoga aja impianmu itu bukan jadi pajangan belaka”, “oke sob, terima kasih atas dukungan kalian” sahut Tira. Selain teman-teman yang mendukung Tira banyak juga teman-teman yang mencemooh bahkan mencaci makinya. Namun ia tak perduli akan hal itu. Ia tetap bersemangat menggapai impian-impiannya dan berkata dalam hatinya “mimpi itu tidak dapat digapai jika bukan kita sendiri yang membangunkannya”. Kata-kata itulah yang menjadi semangat hidup Tira untuk menggapai mimpi serta harapannya.
anpa ia sadari setelah beberapa tahun Tira menyimpan dua lembar kertas tersebut, hanyalah menjadi sebuah coretan. Mengapa menjadi hanya menjadi coretan? karena ia telah menggapai satu persatu harapan serta impian yang telah ia tuliskan pada dua lembar kertas tersebut yang kini menjadi usang serta banyak coretan yang telah ia goreskan pada kertas tersebut.
Ada satu impian yang tertulis pada dua lembar kertas tersebut yang dapat membuat Tira terkesan dan sangat membekas dalam benaknya, yaitu di saat ia berhasil menggapai impiannya untuk melanjutkan S3 ke Negeri Sakura (Jepang). Ia sekarang telah menjadi seorang doktor muda pertama kali di Jepang dan di Negaranya sendiri Indonesia.
Setelah berpulang ke Indonesia banyak orang mengira bahwa ia adalah anak orang kaya, nilai-nilai ujiannya selalu sempurna dan ia selalu mendapatkan IP 4, Lalu Ia dengan tegas menjawab “Tidak!”. Dia Berkata “saya adalah anak orang biasa bahkan hampir tidak apa-apa, ujian saya pun juga ada mendapatkan nilai C bahkan juga ada mendapat nilai D, IP saya pun juga pernah mendapat 2,7 saja”. Dan mungkin satu kalimat ini dapat menginspirasi kalian atau bahkan semua orang “Beranilah bermimpi karena, jika kita berani bermimpi matahari yang sangat panas itu dapat kita genggam”. Ujar Tira, orang-orang yang mendengarkan perkataannya tersebut menjadi kagum serta takjub atas prestasi serta tekadnya yang begitu kuat.
Tira berharap bahwa kelak dirinya mampu memotivasi bahkan menginspirasi banyak orang untuk mengikuti jejak-jejak mimpinya dalam melakukan hal-hal yang mungkin kita sendiri tidak akan dapat mengukurnya.

"Ujian Nasional, Dilema Sang Guru"

Di luar terdengar lagu dangdut murahan dibunyikan keras-keras. Sedangkan aku.. aku menjejalkan lagu korea ke telingaku. Bukan tidak mencintai karya negeri sendiri. Tapi cinta memang tidak bisa dipaksakan akan jatuh kemana. Hari-hari sudah cukup menekan disini tanpa lagu-lagu dangdut itu. Sedikit pelepas ketegangan hanya itu yang aku butuhkan. Alunan lembut suara IU… sejenak… bisa membuatku melupakan badai yang sedang berkecamuk di hati, pikiran dan tubuhku.
Entah kemana idealisme itu sudah kulemparkan. Mungkin seperti batu hitam yang jatuh ke laut dalam atau seperti bumerang milik suku Aborigin yang kini sedang berbalik menyerangku. Yang kulakukan adalah pengkhianatan. Bukan terhadap orang lain, tapi terhadap diriku sendiri. Apakah rupiah itu? Atau memang kelemahan yang sudah lama ada bahkan sebelum idealisme ku menemukan namanya. Hanya karena permintaan menghiba dari seorang kepala sekolah yang juga menjadi korban sistem kemunafikan dalam lembaga pendidikan yang seharusnya didirikan untuk menjadi wadah perubahan dan pencetak para cendikia.
“Tolong lah… Bu. Anak-anak kita tak akan bisa lulus jika mereka harus mengerjakan soal itu sendiri”,
“Kasihan mereka Bu, sebagai guru, inilah yang kita bisa berikan bagi mereka”.
Ya. Satu pertolongan terakhir bagi anak-anak pulau yang lebih gemar bermain dan melaut ketimbang belajar. Toh, mereka semua akan lulus juga. Lihatlah lah coreng moreng itu sekarang. Di tempat ini, mereka malah dibimbing untuk berlaku curang. Salahkah anak-anak itu jika moral mereka terus terdegradasi, di tempat etika seharusnya berlaku mutlak, mereka malah menemukan pelecehan terhadap etika moral dan kejujuran diinjak blak-blakan.
Semua kobaran kemarahan dan idealisme itu padam seperti tersiram air dingin. Aku benci melihat diriku bersusah payah mengerjakan soal-soal sialan itu. Seribu kali!!! Mau jadi apa siswa-siswa itu? Kabupaten yang ingin namanya harum mengambil jalan pintas berbagai rupa. Hemh! Lihat saja jalan yang sudah disediakan itu, berubah menjadi semak belukar. Jalan pintas itu kini sudah serupa jalan tol, lengkap dengan pintu, penjaga dan tarifnya. Kemanakah jalan itu menuju? Ke dunia luar yang memang persis seperti inilah keadaanya, kurang lebih. Apakah cara-cara yang diterapkan memang sudah tepat, mengingat setamatnya mereka dari sekolah, mereka akan terjun dan berbaur dalam masyarakat. Mereka sudah kami ajarkan untuk mengenal kata ‘kompromi’ dan kami didik untuk memahami dengan pasti bahwa ‘tidak ada peraturan yang tidak bisa dilanggar’. Dan trik untuk mencapai sukses dalam hidup.. yaitu… ‘jangan melawan arus’. Mereka juga sudah kami bekali dengan rumus untuk bisa bertahan dalam dunia nyata ‘kejujuran hanya dipakai seperlunya saja’. Karena begitulah yang marak mereka lihat di televisi, jika channel favorit mereka yang menayangkan sinetron kebetulan sedang iklan dan mereka melewati saluran tv yang terus-menerus memutarkan berita. Karena begitulah yang terjadi di indonesia.
Hidup memang pilihan, dan aku sudah memilih untuk ikut terlibat dalam permainan ini. Hanya karena aku tak mau didiskualifikasi karena melanggar peraturan yang sudah ditetapkan, play unfair. Menyadari kalau ternyata aku tidak cukup tangguh untuk bisa berkata ‘tidak’, membungkam suara yang biasa kuteriakkan… aku pun tak jauh berbeda.
Pendidikan harus selalu menyesuaikan dengan perubahan jaman, itulah yang sedang berlaku saat ini. Bagaimana pendidikan moral bisa diterapkan jika moral para pendidiknya saja masih patut dipertanyakan. Bukan gaji yang besar yang dibutuhkan, tapi jiwa yang berkali-kali lipat lebih besar untuk bisa bertahan dalam profesi ini dan tetap waras. Pelan-pelan… aku sudah mulai membenci anak-anak ini. Di mataku, mereka adalah kertas buram dan lusuh. Bukan kertas putih yang masih kosong yang bisa dicat warna-wani pelangi. Aku mendadak kehilangan kemampuanku untuk melihat sisi putih dari legam kulit mereka. Anak-anak itu sudah menjadi kriminil sejak masih di sekolah dasar. Menyalahkan keluarga dan lingkungan mereka adalah yang kami lakukan disini. Bukan perasaan seperti ini yang ingin aku rasakan ketika memutuskan untuk mengikuti program sm3t. Ottokhe… bagaimana dengan hatiku. Bagaimana dengan idealismeku. Bagaimana nasib pendidikan negeri ini kelak? Tempat ini punya kekuatan untuk membangkitkan seluruh sisi negatifku. Kini aku hanyalah seorang guru yang pesimis dan apatis.